MAKALAH
KHALIFAH MUAWIYAH BIN ABI SUFIAN
Dosen
Pengampu : Abdul Syahid, S.pd.I., M.A.
Disusun Oleh:
MAYKE MELINDA
1209.11.06512
PGMI IV B
UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATAKUIAH
SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji
syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang memberikan kami nikmat kesehatan dan
umur panjang sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan Judul “KHALIFAH MUAWIYAH
BIN ABI SUFIAN” ini dengan baik. Shalawat beriring salam kita kirimkan kepada
Baginda Rasulullah saw. Dimana karena berkat usaha dan kerja keras beliaulah kita
semua dapat menuntut pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Selanjutnya kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang ikut terlibat didalam penyusunan makalah
ini terlebih lagi kepada dosen pengampu yang bersedia membina kami sehingga
kami dapat tertantang untuk lebih maju dan untuk dapat menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik mungkin.
Akhirnya, kami harapkan adanya kritikan
ataupun saran yang dapat membangun dimana setiap manusia itu tidak ada yang
sempurna.
Tembilahan,
14 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
PEMBAHASAN
A.
Biografi
muaawiyah bin abi sufian............................................ 6
B.
Pengangatan
menjadi khalifah..................................................... 7
C.
Gaya
kepemimpinan muawiyah bin abi sufian.................. 9
D. Jasa peninggalan
muawiyah bin abi sufian.......................... 15
DAFTAR PUSTAKA
KHALIFAH MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN
A. Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M)
Muawiyah
bin Abi Sufyan merupakan pendiri Dinasti bani Umayyah. Muawiyah masuk Islam
pada saat peristiwa Fathu Makkah. Muawiyah lahir lahir empat tahun
menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain
menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw menjadi Nabi.
Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abu
Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah.
Namun riwayat
lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya
sampai peritistiwa Fathu Makkah.
Di
masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah
bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena
dia jujur,” kata Jibril. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat
menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin
Jarrah. Kaum Muslimin berhasil menaklukkan Palestina, Syria (Suriah),
dan Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini
terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.
Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar,
Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang
berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah.
Pada masa pemerintahan Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang
yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian. Ketika
Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya,
Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan,
akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Serah
terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah
dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian,
Muawiyah resmi menjadi khalifah. Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah
dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun ia
tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam. Ia
ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin.
Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu
saja. Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap
‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia
adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang
sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan
masih terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.
Berikut biografi Muawiyah :
Nama : Muawiyah
Julukan : Abu
Abdurrahman
Lahir
: tahun 606 M ( tahun ke-5 sebelum kenabian)
Ayah :
Abu Sufyan
Ibu
: Hindun
Silsilah ayah dan ibu bertemu pada : Abdu Syam
Silsilah Muawiyah dan Nabi Muhammad bertemu pada : Abdi
Manaf
B. Pengangkatan Menjadi Kholifah
Karier
Politik Muawiyah dimulai sejak ia masuk Islam yaitu :
●
Pada masa
Nabi
Muhammad
: menjadi anggota penulis wahyu
●
Pada masa
Kholifah Abu
Bakar :
Panglima perang di wilayah Syam
●
Pada masa
Kholifah Umar
: Gubernur Syiria
●
Pada Masa
Kholifah
Utsman
: Gubernur Damaskus dan Syiria
Muawiyah melakukan pemberontakan pada masa pemerintahan Kholifah Ali,
dengan alasan menuntut balas kematian Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali
terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman.
Sedangkan Ali beranggapan bahwa kepemimpinan Muawiyah sebagai gubernur
Damaskus banyak melakukan penyelewengan, selain itu Muawiyah juga berambisi
menduduki jabatan Kholifah oleh karena itu Ali mencopot Muawiyah dari
jabatannya sebagai Gubernur Damaskus.
Karena
merasa sakit hati maka Muawiyah melakukan pemberontakan sehingga terjadilah
Perang Shiffin, dalam peperangan ini diakhiri dengan perdamaian / Arbitrase /
Tahkim. Namun sayang dalam peristiwa tahkim ini, pihak Muawiyah melakukan tipu
muslihat atas saran dari Amr bin Ash.
Setelah
peristiwa tahkim, pihak Ali merasa dirugikan dan pendukung Ali terpecah
menjadi 2 kelompok yaitu Syi’ah dan Khawarij. Orang-orang khawarij melakukan
rencana hendak membunuh 3 orang yang dianggap sebagai dalang perpecahan umat
Islam yaitu (Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, dan Ali bin Abi Tholib).
Namun rencana tersebut gagal hanya orang yang bertugas membunuh Ali yang
berhasil.
Setelah Ali terbunuh, orang-orang Syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai
Kholifah, namun pihak muawiyah menolak. Disisi lain Hasan tidak berambisi
menjadi Kholifah dan tidak mau terjadi perpecahan berlanjut di tubuh umat
Islam, akhirnya Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kekholifaha kepada
Muawiayah.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan beberapa syarat
yaitu :
1. Muawiyah tidak menarik pajak dari
penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak
2. Muawiyah tidak lagi mencacimaki Ali
dan keluarganya
3. Muawiyah menyerahkan sebagian harta
Baitul Mal kepada Hasan
4. Setelah kekholifahan muawiyah
berahir, jabatan Kholifah diserahkan kepada umat Islam.
Muawiyah berjanji memenuhi syarat
tersebut, akhirnya Muawiyah secara resmi diangkat sebagaiKholifah pada tahun
661 H
C. Gaya Kepemimpinan Muawiyah bin Abi
Sufyan
Sistem
pemerintahan yang dijalankan pemerintahan bani Umayyah adalah Monarchi
Heridities. Yaitu system pemerintahan kerajaan / turun temurun, hal ini
dibuktikan setelah Muawiyah wafat ia menyerahkan kekuasaan kekholifahan kepada
putranya yaitu Yazid bin Muawiyah.Hal inilah yang menyebabkan pemberontakan
yang dilakukan oleh Husain bin Ali (saudara Hasan). Sehingga terjadi
perang di padang Karba’ Irak. Dalam perang ini Hasan beserta seluruh
keluarganya terbunuh.
Dalam
menjalankan pemerintahan Muawiyah memang terkenal keras dan otoriter. Namun
gaya kepemimpinan inilah yang menjadikan pemerintahan Islam berjalan stabil
karena ia selalu berusaha menumpas para pemberontakan yang dilakukan oleh
orang-orang Syi’ah.
Sejalan
dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif
dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan
luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan
menyempurnakannya. Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke
Damaskus.
Keputusan
ini didasarkan pada pertimbangan politik dan alasan keamanan. Karena letaknya
jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat
tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah, sehingga bisa terhindar dari
konflik yang lebih tajam antara dua bani itu dalam memperebutkan kekuasaan.
Lebih dari itu, Damaskus yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah daerah
yang berada di bawah gengaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia
diangkat menjadi Gubernur di distirk itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.
Kedua,
Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam
perjuangannya mencapai pundak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali
menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga ia diangkat menjadi
Gubernur diwilayah Persia. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil baik
para sahabat terkemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus yang
ditimbul waktu itu, sehingga mereka berpihak kepadanya.
Ketiga,
Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa
dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menumpas
kaum Khawarij yang merongsong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan
ini menunduhnya tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian
dengan Ali diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu
politiknya.
Keempat,
membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angakatan, darat, laut dan
kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali
lebih besar dari pada yang diberi pada yang diberikan Umar kepada tentaranya.
Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan
mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yaitu memperluas wilayah kekuasaan.
Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab.
Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab.
Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam dizaman Dinasti ini meliput Spanyol,
Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia
Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia,
Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah,
sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar di zaman itu.
Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam melahirkan
benih-benih
peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan
perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak
berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat
peradaban dunia selama berabad-abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang
berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang
non-musim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator,
dokter dan dikesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khulafaur Umar bin Abd
al-Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non-Muslim (Yahudi,
Nasrani, Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak
merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam
Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan
orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan
dalam mengatur urusan orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan
dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengaruhi oleh kebudayaan
Byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh
Khalifah Muawiyah adalah Mengubah system pemerintahan dari bentuk Khalifah yang
bercorak Demokratis menjadi system Monarki dengan mengankat putranya, Yazid,
menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya
nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang
diikuti oleh para pengganti Muawiyah.
Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa
al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari
itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an
agar segala urusan diputuskan melalui musyawarah.
Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat
Islam golongan Syi’ah, pendukung
Ali, Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir.
Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah.
Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan atau
Umar dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak
mengubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul
kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat
putra mahkota sebagai penggantinya.
Keputusan
ini direkayasa oleh Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat
penting pemerintah. Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka
membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta salah
seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah ia
(Muawiyah) berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin
berbicara dengan memuji Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas
memangku jabatan khalifah setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta
oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi perintah itu,
kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais.
Walaupun
Muawiyah mengubah system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap
memakai gelar khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir
al-Mu’minin. Dan status jabatan Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam
mempimpin umat dengan menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat
30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah
didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir.
Pengelolaan
administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah
merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diciptakan
oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana pada periode
Negara madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah provinsi. Setiap provinsi
dikepalai oleh Gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh
Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau beberapa katib (sekretaris),
seorang hajib (pengawal) dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib
al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan
qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh
khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.
Di
tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib,
al-hajib dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (Sekretaris
Negara), katib al-kharaj (sekretaris Pendapatan Negara), katib al-jund
(sekretaris militer) katib al-syurthat (sekretaris kepolisian) dan katib
al-qadhi (panitera). Katib al-rasail dianggap paling penting posisinya. Karena
itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari keluarga kerajaan.
Para katib betugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-Hanib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah. Karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hijab, yaitu muzin untuk memberitahukan waktu shalat kepada khalifah. Shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal-ihwal makanan di istana. Lembaga al-syurthat yang dipimpin oleh shihab al-syurthat bertugas memilihara keamanan masyarakat dan Negara.
Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham al-qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atau Ijmak dan atau Ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai Negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani krimininal yan perlu penyelesaian segera.
Para katib betugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-Hanib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah. Karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hijab, yaitu muzin untuk memberitahukan waktu shalat kepada khalifah. Shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal-ihwal makanan di istana. Lembaga al-syurthat yang dipimpin oleh shihab al-syurthat bertugas memilihara keamanan masyarakat dan Negara.
Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham al-qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atau Ijmak dan atau Ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai Negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani krimininal yan perlu penyelesaian segera.
Pejabat
badan al-mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan
badan ini lebih dari al-qadha dan al-hisbat. Karena badan ini bertugas meninjau
kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh
qadhi dan muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap
perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang
menyalagunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang
mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu
para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi,
yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim.
Berarti
pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan
bebas tetap dilaksanakan.
Didalam
tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayah juga dibentuk beberapa diwan atau
departemen.
1. Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus
surat-surat Negara dari Khalifah kepada para Gubernur atau menerima surat-surat
dari Gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunkan
bahsa Arab, dan untuk daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi
pada masa Khalifah Abd al-Malik diadakan arabisasi, yaitu hanya menggunakan
bahasa Arab dalam surat-surat Negara.
2. Politik
arabisasi ini berlanjut pada masa putranya, Khalifah Al-Walid, yaitu penggunaan
bahasa Arab sebagai linguafranca dan bahsa ilmu pengetahuan untuk seluruh
wilayah pemerintahan. Pengaruhnya berlanjut sampai sekarang. Misalnya Mesir dan
Irak menggunakan bahasa Pahlawi dan Kpti, dan Damaskus bahasa Greek, kini
menggunakan bahasa Arab. Kebijaksanaan ini mendorong seorang ulama, sibawaih,
untuk menyususn Al-Kitab yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata
bahasa Arab. Diwan
al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua
keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada
pemerintahan di daerah.
3. Diwan al-Kharaj, usyur, zakat,
jizyah, fa’I dan ghanimah dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang
diperoleh dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal (kantor perbendaharaan
Negara.
4. Diwan al-Barid, departemen pelayanan
pos bertugas melayani informasi tentang berita-berita penting di daerah kepada
pemerintahan pusat dan sebaliknya, sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang
terjadi di daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di
daerah
5. Diwanul al-jund, departemen
pertahanan yang bertugas mengornisir militer. Personilnya mayoritas orang-orang
Arab.
D. Jasa Peninggalan Kholifah Muawiyah
bin Abi Sufyan
Pada
masa Umayyah, baitul Mal = Lembaga pemerintahan yang bertugas mengurus
masalah keuangan Negara, beralih fungsi dari harta hak seluruh rakyat
menjadi harta kekayaan pribadi kholifah.
Adapun kebijakan-kebijakan yang
dilakukan pada masa pemerintahan Kholifah Muawiyah antara lain adalah :
1.
Pembentukan
Diwanul Hijabah
Bertugas memberikan
pengawalan khusus terhadap Khlifah, hal ini dikarenakan kekhawatiran muawiyah
melihat 3 kholifah sebelumnya meninggal karena terbunuh
2.
Pembentukan
Diwanul Khatam
Bertugas mencatat semua kebijakan
Kholifah mengantisipasi peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman yang disebabkan
Surat misterius
3.
Pembentukan
Diwanul Barid
Departemen pos yang bertugas
mengantarkan surat-surat resmi pemerintah
4.
Pembentukan
Shohibul Kharaj
Bertugas memungut pajak dari rakyat.
Daftar Pustaka
Pulungan, J
Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT. RajaGrafindo
Persada: Jakarta
Syalabi, Ahmad.
1998. Sejarah dan Kebudayaan
Islam. Jilid I. terjemahan Muchtar Yahya dan Sanusi Latif. Pustaka Al-Husna:
Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. UI-Press: Jakarta.
Islam. Jilid I. Departemen Agama RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar